Latest News

Sunday, 26 October 2008

Kesan Pertama Ada pada Sampul Buku

Sumber: Kompas
The first impression means everything! Demikian kalimat utama yang terpampang dalam salah satu website yang menawarkan jasa pembuatan sampul buku. Tulisan tersebut cukup menyiratkan pesan bahwa desain sampul buku itu sangat penting bagi keberadaan sebuah buku.

SEDEMIKIAN pentingnya hingga menyadarkan para penerbit bahwa para pembeli buku kini tidak hanya sekadar tertarik pada isi buku yang dijajakan, namun juga pada visualisasi sampul. Bahkan, sering kali sampul buku diposisikan sebagai pintu utama bagi calon pembeli untuk melihat lebih lanjut sebuah buku.

Hawe Setiawan, editor Penerbit Pustaka Jaya, mengungkapkan bahwa tidak dapat dimungkiri sampul telah menjadi etalase bagi sebuah buku di hadapan pembaca. "Yang sangat terasa kalau sedang pameran, orang melihat buku sering kali sepintas saja, kalo tampilannya menarik, baru orang memutuskan mendekat dan membeli," ujar Hawe.

Pengamatan terhadap perilaku konsumen dalam pembelian buku ini menarik untuk dikaji. Pasalnya, keberadaan sampul buku semenjak kemunculannya yang pertama kali-sejak dicetaknya kitab suci-masih berfungsi sebatas sebagai pelindung isi naskah yang telah disatukan. Kini, ketika buku telah menjadi salah satu komoditas, cara menyajikan pelindung isi naskah pun telah berubah, fungsi keindahan dan nilai bisnis dari sebuah sampul buku menjadi perhatian utama penerbit.

Di Indonesia sendiri, sampul buku mulai dikenal ketika masuknya buku-nasional berjilid yang dibawa oleh orang Belanda. Tipografi di depan sampul masih sangat klasik dan konvensional dengan teknologi huruf timah. Namun, lambat laun ketika teknologi desain grafis semakin berkembang, para pembuat sampul buku menjadi lebih kreatif menghasilkan beragam kreasi sampul buku. Di awal tahun 1970-an, misalnya, teknologi offset sudah memungkinkan penggunanya untuk memindahkan gambar pada sampul buku, bahkan untuk mencetak sebuah karya perupa seperti yang sudah dipraktikkan oleh Penerbit Pustaka Jaya. Perkembangan demikian semakin mendorong nilai-nilai estetika sebuah buku bersama sampulnya.

Dalam teknologi percetakan dan desain grafis semakin terpacu oleh semakin ketatnya persaingan bisnis di dunia penerbitan buku. Dalam persaingan bisnis, para pelaku yang terlibat di dalamnya berlomba untuk memasarkan produknya agar konsumen berminat melihat dan membelinya. Kini, salah satu strategi bisnis dalam menjual buku adalah membuat tampilan fisiknya menarik, yaitu melalui desain sampul bukunya. Strategi ini diakui oleh beberapa penerbit hingga mereka merasa perlu mendesain sebuah sampul buku dengan baik. Pengalaman Penerbit Kiblat, Bandung, menarik dipaparkan. Bagi penerbit ini, untuk meraih pasar yang bagus tidak cukup hanya dengan membangun jaringan distribusi yang baik, namun harus dibarengi dengan tampilan fisik yang menarik pula. Sebelumnya, penerbit, yang berfokus pada penerbitan buku-nasional sastra Sunda, ini sempat mengalami kecemasan karena sastra Sunda kurang disukai khalayak. Dalam kecemasan, mereka mencoba strategi baru, yaitu mencetak buku-nasional sastra Sunda dengan tampilan fisik yang menarik sebagaimana tren sampul buku yang terjadi saat ini. "Ternyata pasar antusias dengan buku-nasional Kiblat," ujar Rahmat Taufik. Kurun waktu dua tahun terakhir sudah 40 buku berbahasa Sunda yang mereka terbitkan dengan respons pembeli cukup baik. Penggantian sampul buku juga diyakini oleh Dorothea Rosa Herliany tidak hanya meningkatkan penjualan, tetapi juga kesan masyarakat terhadap penerbit.
Ia menuturkan, kumpulan cerpennya Perempuan Yang Menunggu awalnya diterbitkan hanya 2.000 eksemplar. Selama lima tahun lamanya Rossa tidak pernah mendengar kabar cetakan pertama bukunya tersebut, apakah habis terjual atau tidak. Akhirnya, Rossa memutuskan menerbitkan ulang bukunya di penerbitannya sendiri dengan membuat sampul sendiri yang jauh lebih menarik. Hasilnya sangat memuaskan, yaitu 1.500 eksemplar bukunya habis dalam waktu 6 bulan, bahkan mengalami cetak ulang. Meski tidak dilakukan penelitian khusus bahwa peningkatan penjualan disebabkan oleh sampul buku, tidak menutup kemungkinan sampul yang eye catching mampu memikat pembeli. Bahkan, secara tidak terduga sampul buku kumpulan cerpen tersebut justru menjadi brand image terhadap penerbitannya. "Sekarang, walaupun sudah ada kumpulan cerpen yang lain, orang tetap mengingat yang itu saja," kata pemilik penerbitan Indonesiatera ini. Di mata Priyanto Sunarto, pengajar senior Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung, tuntutan akan tampilan sampul buku yang lebih baik, selain disebabkan oleh persaingan pasar dan perkembangan teknologi komputer, juga dapat dimungkinkan oleh pengalaman visual yang semakin baik dari masyarakat. Ia melihat masyarakat saat ini dapat membedakan desain sampul buku yang modern dan yang sudah ketinggalan zaman. Dalam kondisi seperti itu, para penerbit semakin merasa perlu menciptakan imaji dengan membangun konsep pada tiap jenis terbitannya. Anas Syahrul Alimi, pimpinan Penerbit Jendela dan Pustaka Sufi, misalnya, sangat menyadari hal demikian. Dalam praktik penerbitan, Anas kerap menyertakan simbol Islam untuk terbitan Pustaka Sufi dan gaya klasik untuk Jendela. Ilustrasi buku-nasionalnya sering kali diambil dari buku-nasional impor yang kemudian diberi credit title. Pengalaman visual konsumen itu juga dirasakan oleh Anas dari hasil pengamatannya. Ia melihat pertama kali orang melihat buku dari sampul depan kemudian penulis dan sampul belakang. "Ada orang membeli buku bukan karena isi buku, tetapi karena sampulnya," lanjut Anas. Apalagi bagi orang yang sangat apresiatif terhadap karya seni rupa, isi menjadi tidak penting lagi, tetapi visualisasi yang ditampilkan sampul buku.
Menelisik Jejak Sampul Buku
Sampul buku tak dimungkiri adalah iklan untuk menarik pembeli sebelum teks di dalamnya dibaca. Namun demikian, sampul buku yang didesain sedemikian rupa menjadikan buku tidak sekadar sebagai informasi, melainkan sesuatu yang menunjukkan nilai hubungan antara si pembuat buku dan pembacanya. Pada awalnya sampul buku dikaitkan dengan fungsi penjilidan buku dan tidak memiliki elemen dekoratif. Sampul-sampul buku yang didesain khusus baru muncul pada abad 19 di Inggris. Salah satu buku yang menjadi pembicaraan pada masa itu di Inggris adalah The Yellow Book, an Illustrated Quarterly, Volume One, April 1894 dengan desainer Aubrey Beardsley dan Oscar Wilde. Setelah tahun 1900, sampul buku mulai dianggap sesuatu yang umum digunakan meskipun sebagian besar bentuknya hanya mengulang cetakan dari penjilidan buku. Ada beberapa buku yang juga menambahkan informasi di sampul belakang, tetapi hanya sedikit buku yang mencantumkan semacam ringkasan isi buku sebagai sebuah promosi. Gambar-gambar biasanya banyak digunakan untuk buku-nasional tertentu, terutama buku cerita anak-anak. Adanya persaingan yang cukup tinggi di dunia perdagangan buku pada masa menjelang perang dunia pertama, membuat beberapa penerbit merasakan perlunya buku digarap oleh desainer khusus, seperti halnya para perempuan memiliki penjahit khusus untuk desain baju-baju mereka. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa sampul buku akan mendongkrak nilai tambah buku. Sayangnya, perkembangan ini terpaksa berhenti selama perang dunia pertama dan pulih kembali setelah tahun 1920-an hingga 1930-an. Selama periode ini, terjadi perkembangan periklanan dan studi mengenai penjualan. Tingginya angka penjualan pada barang-barang bermerek dan komoditas dengan kemasan khusus, memberi inspirasi pada para penerbit untuk membangun sebuah citra produk dan menciptakan berbagai genre buku yang mudah dikenali oleh para pembaca. Pada masa itu, citra visual juga mulai dikenal luas masyarakat setelah penemuan "gambar hidup" atau film. Akibatnya, para pembaca mulai terbiasa menikmati citra visual sebaik membaca teks tertulis. Pejalanannya, perkembangan teknologi separasi warna turut mempengaruhi kualitas efek visual yang lebih tajam. Teknologi ini pun ikut menghidupkan kegiatan akademis sehingga para penerbit saat itu bisa berkolaborasi dengan akademisi di bidang seni desain. Situasi seperti ini dan ditambah dengan kondisi pasar yang lesu setelah depresi ekonomi pada gilirannya berpengaruh mengaburkan batas antara seni "komersial" dan seni "tinggi".

Peluncuran buku-nasional dari Penerbit Penguin Books mengubah sejarah penerbitan buku, khususnya di Inggris menjelang tahun 1940-an. Penerbit ini berhasil menciptakan citra produk melalui desain sederhana sampul buku-nasionalnya, termasuk penciptaan simbol penguin dan pemilihan jenis paperback yang membuat harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan buku-nasional penerbit lain yang umumnya dicetak dengan hardback. Penguin juga membuat ciri khas warna untuk setiap jenis buku yang diterbitkannya: jingga untuk buku fiksi, biru gelap untuk biografi, hijau untuk buku tentang kriminalitas dan misteri.

Era tahun 1960-an hingga tahun 1970-an terjadi lonjakan buku-nasional paperback, mengikuti jejak penerbit Penguin. Masa ini, buku-nasional terbitan Penguin tetap memakai karakter khas untuk setiap jenis buku, namun elemen visual dengan gambar-gambar menarik tampak lebih dominan dibandingkan dengan elemen visual huruf pada awal berdirinya Penguin. Penemuan teknologi pencetakan berwarna yang murah, airbrushing serta lettraset ikut mendorong perkembangan ini. Terlebih pemakaian komputer memungkinkan para desainer bereksplorasi tanpa batas.

Saat ini, teknologi kembali beraksi. Teknologi memungkinkan kehadiran buku-nasional digital atau e-book. Namun, sekalipun kini mulai mengisi pasar, tidak otomatis membuat era buku- buku Guttenberg berakhir. Paling tidak belum saatnya.

No comments:

Post a Comment